Kalau tidak salah ingat, pertama kali membaca Supernova saya masih duduk di bangku kelas dua es em pe. Saya memang tidak begitu memahami konsep-konsep sains yang dijabarkan dalam novel-novel tersebut. Tentang bifurkasi, turbulensi, percobaan 'Kucing schrodinger', atau penelitian Faraday. Tapi entah mengapa saya seperti memahami sesuatu, yang tidak bisa saya ungkapkan kepada orang lain, bahkan diri saya sendiri pun tidak bisa mendefinisikannya secara gamblang. Perasaan, atau mungkin intuisi saya saat itu memang tidak bisa dijelaskan secara runtut seperti metodologi ilmiah. Saya hanya merasa "faham" saja tanpa bisa menjelaskan kefahaman saya kepada orang lain.
saya membaca novel itu untuk kedua kalinya pada pertengahan februari lalu, saat saya sudah berstatus sebagai seorang mahasiswa Sastra Inggris semester akhir. Betapa terkejutnya saya ketika saya membaca dan menemukan sensasi-sensasi yang tidak saya temukan ketika membacanya pertama kali. Ada benang-benang halus yang mengaitkan 'kefahaman'saya di masa lalu dan 'kefahaman'saya di masa sekarang. Dan akhirnya saya bisa mendeskripsikan 'sesuatu' yang tak terdefinisikan di masa lalu. Sesuatu yang selama bertahun-tahun menjadi pertanyaan terbesar saya. Sesuatu yang membuat saya, hampir setengah gila.
Dan Supernova membuat saya merasa "waras" sewaras-warasnya.
Supernova, bukan hanya sekedar sebuah novel. Tetapi dia adalah sebuah virus yang menginfeksi tiap pembacanya. Dia menciptakan benang-benang halus yang mampu menghancurkan tembok penghalang ilmu pengetahuan. Tembok yang mengkotak-kotakkan antara sains, sastra, dan sosial. Seperti hancurnya tembok Berlin yang menyatukan Jerman Timur dan Jerman Barat. Benang-benang itu menghubungkan sains yang melangit dan sastra yang membumi. Menghubungkan Teori relativitas einstaint dengan perselingkuhan seorang wanita karir dan pengusaha muda.
Banyak teman-teman saya yang bilang kalau Supernova itu novel 'berat", susah dimengerti. Tapi bagi saya, Supernova lebih gamblang dari buku teori filsafat manapun. Supernova mengungkap rahasia-rahasia alam raya yang selama ini masih tertutup kabut. Pernah suatu kali saya berpikir, bahwa konsep "waktu" di dunia ini sebenarnya tidak ada. Jam, menit, detik hanya lah sebuah konsensus. Kesepakatan international saja. Masa lalu dan masa depan itu tidak ada. hanya sebuah ilusi. yang ada hanya lah 'saat ini.' kalau saya mendiskusikannya dengan orang lain, mungkin saya akan dianggap 'gila'. Seseorang yang tidak punya latar belakang pendidikan sains, bahkan nilai fisikanya tidak pernah beranjak dari angka enam berani menentang konsensus international yang di "amini' oleh semua orang di dunia ini.
Tapi, Supernova seperti teman curhat yang tepat bagi saya. Bahkan 'kegilaan' saya selama ini dibenarkan olehnya.
Selama ini, saya merasa punya keterikatan batin dengan seseorang. Ketika dia sakit, saya ikut merasakan sakitnya. Saya tahu kapan dia sakit tanpa ada yang memberitahu. Saya tahu kapan dia punya masalah tanpa dia menceritakannya dulu pada saya. Dia mengerti apa yang saya pikirkan, dan saya pun mengerti apa yang dia pikirkan. Dia bukan orang tua saya, saudara saya, atau bahkan kekasih saya. dia hanya seorang 'teman.'
Mulanya saya berpikir, adakah penjelasan ilmiah mengenai hal ini? Apakah dua orang yang berjarak ribuan kilometer bisa memikirkan hal yang sama?
dan ternyata Supernova menjawab pertanyaan saya. Percobaan Faraday membuktikan secara ilmiah fenomena yang saya alami.
Yang terakhir, Supernova menjawab sebuah tanda tanya besar yang tidak hanya ada di dalam benak saya, tetapi juga seluruh makhluk di dunia ini. Anjing, kucing, rumput, lebah, lalat, amoeba, parasit...... tentang keteraturan dan ketidakteraturan, tentang kepastian dan ketidak pastian, tentang Kekuatan apa yang menyebabkan gravitasi itu menjatuhkan buah apel dari pohonnya. Tentang Siapa yang menentukan apakah koin yang kita lemparkan ke udara akan mendarat dalam bentuk gambar rumah ataukah gambar burung cendrawasih.
Ternyata, roman kehidupan yang kita alami adalah sebuah fenomena 'sains' yang luar biasa dahsyat! Supernova menelusurinya dengan halus. Membentangkan benang-benang halus, merunutkan segala yang kusut dan carut marut.
Tetapi, seperti relativitas Einstaint, kebenaran di dunia ini tidaklah mutlak. Supernova adalah makhluk. dan dia tidak hakiki. Relativ. Tidak mutlak.
Sesaat setelah menamatkan novel ini, saya merasa 'plong' seperti habis membuang 'hasil ekskresi' di dalam tubuh yang sudah lama menumpuk seperti sampah busuk. Seperti orang jawa yang baru saja mendapat kejelasan dari kebingungan yang dia hadapi, novel ini membuat saya mengucap 'oalah.....ngono to tibake.........'
tetapi selain rasa lega, masih ada satu hal yang menggelitik di pikiran saya. Sebuah pikiran jahat yang egois
. Seandianya saya bisa bertemu mbak Dewi Lestari, saya ingin mengatakan padanya, " Yah.... Mbak Dewi jadi gak surprise lagi dong.... Kok dikasih tahu sih? Biarin aja 'mereka' bertanya-tanya. Biarkan saja 'tanda tanya' besar itu tetap ada di kepala 'mereka'. Biar mereka mencari dan menemukannya sendiri."
*Dee= Dewi Lestari, penulis buku Supernova