Senin, 02 Mei 2011

"My sister's keeper."... bagaimana sakitnya kehilangan



Kemarin, saat pulang ke Blitar iseng-iseng aku menonton film My Sister's Keeper. Temenku, si "juragan" film, merekomendasikannya sebagai film yang exciting banget. Film ini sudah lama masuk di waiting list flash disk ku. Sampai akhirnya aku mengcopy nya di laptop dan menontonnya sendirian.

Film ini mengisahkan tentang sebuah keluarga yang menghadapi permasalahan kompleks. Cukup rumit malah. Anak perempuan pertamanya, Kate divonis dokter menderita leukimia. Dia tidak bisa bertahan hidup jika tidak ada orang yang bersedia mendonorkan organnya. Karena susah menemukan orang yang cocok, akhirnya sepasang suami istri itu dengan persetujuan dokter membuat bayi tabung sebagai "suku cadang" anak perempuannya.

Maka bayi perempuan yang lahir itu (anna) seumur hidup menjadi "suku cadang" kakaknya. Ia menyumbangkan sumsum tulang, darah, bahkan terakhir ginjal nya akan diambil. Tidak seperti sebelumnya, kali ini dia membangkang. Ia mengaku sudah lelah menjadi donor kakaknya. Ia ingin mimiliki tubuhnya seindiri, seutuhnya. Bahkan ia menyewa pengacara untuk menuntut ibunya yang memaksanya menjadi donor kakaknya.

Keluarga itu menjadi porak-poranda, tatkala tidak ada diantara mereka yang mau mengalah. Sang ayah mencoba menengahi dengan bijak, namun tetap saja istrinya menginginkan anna berkorban untuk kakaknya. Kate, hanya mampu memperhatikan apa yang terjadi pada keluarganya sambil terbaring di rumah sakit. Di situlah ia membuka kembali luka lama yang ia pendam, Termasuk, cintanya yang kandas karena ditinggalkan, Taylor, kekasihnya. Ia merasa bersalah telah mencuri seluruh perhatian keluarganya, terutama pada Jesse adik laki-lakinya yang menderita dysleksia.

Di tengah keputus asaan dan kebimbimangan keluarganya, sang ayah mengajak seluruh keluarganya ke pantai. Di sana mereka berusaha melupakan apamyang terjadi. Mereka bermain dengan ombak dan pasir pantai sepuasnya.

Ketika persidangan berlangsung, anna dan ibunya beradu mulut. sampai akhirnya rahasia anna terbongkar. Jesse memberi tahu bahwa anna memberontak karena Kate yang meminta. KAte ingin menyerah. Ia tak ingin menjadi beban keluarganya lagi. Semua yang hadir di persidangan, t sangat kaget mendengar hal ini. Apalagi ibunya, ia tidak menyangka anaknya melakukan itu demi dirinya. Akhirnya mereka ke rumah sakit, bertemu dengan Kate yang semakin lemah.

Akhirnya kate pun meninggal. Ia memang kalah dengan kematian. Namun, penderitaan dan kesedihan Kate membuat keluarganya lebih kuat. Sepeninggal Kate, keluarga itu menjadi lebih harmonis. Jesse pun lulus akademi mengambil jurusan seni. Ibunya kemabli berkarir dan lebih sukses, sementara ayahnya pensiun dini dan memberikan konseling pada remaja bermasalah.

Film ini sungguh membuat mataku berkaca-kaca. Tiap adegan di dalamnya terasa begitu intens dan memberikan sentuhan lembut di dalam hati. Dalam kehidupan ini, kehilangan seseorang yang dicintai adalah wajar adanya. Namun, merelakannya dengan sepenuh hati membutuhkan waktu yang sangat lama. Kadang, kita terlalu mencintai seseorang, dan tidak pernah menyadari jika suatu saat ia akan pergi.

Namun bungkankah rasa memiliki itu ada ketika kita merasa kehilangan? Saat kita kehilangan sesorang yang kita cintai, barulah kita menyadari betapa berharganya dia. Kebaikan-kebaikannya selama hidup membuat kita terinspirasi untuk bangkit dan memperbaiki kualits hidup. Ide dan cita-cita nya akan terus tumbuh menjelma dalam diri orang-orang yang ditinggalkannya.

Minggu, 01 Mei 2011

NII dan Paranoia

Akhir-akhir ini, kasus NII mulai marak diperbincangkan di Indonesia. Ada beberapa mahasiswa yang mengaku diculik oleh sekelompok orang yang mentahbiskan diri nya menjadi gerakan pendiri Negara Islam tersebut. Mereka di cuci otaknya, sehingga tidak mengenal lagi siapa dirinya, kerabatnya bahkan orang tuanya. Kasus ini makin marak, ketika aparat menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan anggota NII. Mereka merampok dan merampas harta orang lain dengan alasan demi membiayai tegaknya Negara Islam di Indonesia.

Jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya fenomena NII ini sudah lama terjadi di Indonesia. Pada sekitar tahun 90 an, banyak generasi muda utamanya mahasiswa yang terkena jaringan NII. mereka bahkan rela minta uang berjuta-juta pada orang tuanya meski pun dengan berbohong hanya demu membiayai gerakan ini. Mereka juga tidak segan-segan menganggap orang di luar kelompoknya kafir. Bahkan pemerintah Indonesia pun dianggap "tidak Islami', sehingga tidak perlu menaati peraturan di dalamnya. Mereka bergerak cukup militan dalam pengkaderan anggota-anggotanya. Sasarannya adalah anak muda yang masih labil dan dalam pencarian agamanya.

Meledaknya kasus ini, membuat banyak pihak seperti kebakaran jenggot. Hampir setiap hari masalah ini dikupas di berbagai stasiun televisi. Banyak pakar baik itu dari agamawan, budayawan, politikus dan kepolisian mencoba mengupas kasus ini dalam berbagai diskusi.
Berbagai komentar dari masyarakat banyak mengecam kasus ini sebagai penodaan agama dan NKRI.

Hal itu berimbas pada stigma masyarakat terhadap orang-orang yang memang bergerak masif untuk mensyiarkan Islam. Seorang pakar menyebutkan bahwa terorisme itu berakar dari rohis yang bergerak di kampus dan sekolah-sekolah. Mereka yang aktif di "dunia dakwah" dianggap membentuk gerakan separatis yang menyelishi NKRI. Ada klaim bahwa perempuan-perempuan yang berjilbab lebar dan laki-laki yang berjenggot semuanya berhubungan dengan NII. Bahkan di salah satu fakultas sebuah universitas ternama, menutup mushola kampus dan membukanya hanya pada waktu sholat saja.

Dalam hal ini, kewaspadaan pemerintah dan masyarakat memang diperlukan sebagai kontrol sosial. Namun adakah lebih baik nya kalau kita tidak "meng-gebyah uyah" setiap aktifs dakwah kampus adalah NII. Jika kewaspadaan itu menjadi kecurigaan yang tidak berdasar, maka masyarakat akan mengalami "paranoia". Mereka akan menggeneralisir setiap kegiatan keislaman dan melarang anak-anak mereka untuk ikut kajian karena dikaitkan dengan NII.

Sebagai civitas akademika yang mengedepankan logika, seharusnya kita bisa berfikir lebih jernih dalam menyikapi masalah ini. Efek yang diakibatkan kecurigaan yang berlebihan itu, tidak malah menyelesaikan masalah, namun lebih memperburuk keadaan. Bayangkan jika semua muslimah yang berjilbab rapi di klaim sebagai anggota NII, maka akan ada banyak perempuan di Indonesia yang takut untk menggunakan jibab. Padahal sebagai seorang muslimah, itu adalah hak prerogatf mereka untuk mengamalkan apa yang diyakininya. Begitu juga dengan orang-orang yang haus akan ilmu agama. Mereka akan urung mengikuti kajian karena kecurigaan yang tidak beralasan.

Bukankah seharusnya, mahasiswa, dosen, dan aparatur negara memberikan informasi yang faktual dan valid kepada masyarakat. Tidak asal tuduh, dan memberikan justifikasi yang belum jelas kebenarannya. Sebagai agen perbahan dan pengayom masyarakat, tidak kah lebih baik jika kita bersikap bijak dan profesional. Tidak mengedepankan sensitivitas pribadi, dan emosional dalam membuat kebjakan. Sehingga masyarakat bisa menjadi lebih tenang, dan tudak mengorbankan banyak pihak yang tidak terkait dengan masalah ini.