Minggu, 01 Mei 2011

NII dan Paranoia

Akhir-akhir ini, kasus NII mulai marak diperbincangkan di Indonesia. Ada beberapa mahasiswa yang mengaku diculik oleh sekelompok orang yang mentahbiskan diri nya menjadi gerakan pendiri Negara Islam tersebut. Mereka di cuci otaknya, sehingga tidak mengenal lagi siapa dirinya, kerabatnya bahkan orang tuanya. Kasus ini makin marak, ketika aparat menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan anggota NII. Mereka merampok dan merampas harta orang lain dengan alasan demi membiayai tegaknya Negara Islam di Indonesia.

Jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya fenomena NII ini sudah lama terjadi di Indonesia. Pada sekitar tahun 90 an, banyak generasi muda utamanya mahasiswa yang terkena jaringan NII. mereka bahkan rela minta uang berjuta-juta pada orang tuanya meski pun dengan berbohong hanya demu membiayai gerakan ini. Mereka juga tidak segan-segan menganggap orang di luar kelompoknya kafir. Bahkan pemerintah Indonesia pun dianggap "tidak Islami', sehingga tidak perlu menaati peraturan di dalamnya. Mereka bergerak cukup militan dalam pengkaderan anggota-anggotanya. Sasarannya adalah anak muda yang masih labil dan dalam pencarian agamanya.

Meledaknya kasus ini, membuat banyak pihak seperti kebakaran jenggot. Hampir setiap hari masalah ini dikupas di berbagai stasiun televisi. Banyak pakar baik itu dari agamawan, budayawan, politikus dan kepolisian mencoba mengupas kasus ini dalam berbagai diskusi.
Berbagai komentar dari masyarakat banyak mengecam kasus ini sebagai penodaan agama dan NKRI.

Hal itu berimbas pada stigma masyarakat terhadap orang-orang yang memang bergerak masif untuk mensyiarkan Islam. Seorang pakar menyebutkan bahwa terorisme itu berakar dari rohis yang bergerak di kampus dan sekolah-sekolah. Mereka yang aktif di "dunia dakwah" dianggap membentuk gerakan separatis yang menyelishi NKRI. Ada klaim bahwa perempuan-perempuan yang berjilbab lebar dan laki-laki yang berjenggot semuanya berhubungan dengan NII. Bahkan di salah satu fakultas sebuah universitas ternama, menutup mushola kampus dan membukanya hanya pada waktu sholat saja.

Dalam hal ini, kewaspadaan pemerintah dan masyarakat memang diperlukan sebagai kontrol sosial. Namun adakah lebih baik nya kalau kita tidak "meng-gebyah uyah" setiap aktifs dakwah kampus adalah NII. Jika kewaspadaan itu menjadi kecurigaan yang tidak berdasar, maka masyarakat akan mengalami "paranoia". Mereka akan menggeneralisir setiap kegiatan keislaman dan melarang anak-anak mereka untuk ikut kajian karena dikaitkan dengan NII.

Sebagai civitas akademika yang mengedepankan logika, seharusnya kita bisa berfikir lebih jernih dalam menyikapi masalah ini. Efek yang diakibatkan kecurigaan yang berlebihan itu, tidak malah menyelesaikan masalah, namun lebih memperburuk keadaan. Bayangkan jika semua muslimah yang berjilbab rapi di klaim sebagai anggota NII, maka akan ada banyak perempuan di Indonesia yang takut untk menggunakan jibab. Padahal sebagai seorang muslimah, itu adalah hak prerogatf mereka untuk mengamalkan apa yang diyakininya. Begitu juga dengan orang-orang yang haus akan ilmu agama. Mereka akan urung mengikuti kajian karena kecurigaan yang tidak beralasan.

Bukankah seharusnya, mahasiswa, dosen, dan aparatur negara memberikan informasi yang faktual dan valid kepada masyarakat. Tidak asal tuduh, dan memberikan justifikasi yang belum jelas kebenarannya. Sebagai agen perbahan dan pengayom masyarakat, tidak kah lebih baik jika kita bersikap bijak dan profesional. Tidak mengedepankan sensitivitas pribadi, dan emosional dalam membuat kebjakan. Sehingga masyarakat bisa menjadi lebih tenang, dan tudak mengorbankan banyak pihak yang tidak terkait dengan masalah ini.

Tidak ada komentar: