Minggu, 20 Juli 2008

Sahabat Lama

Aku tak pernah menyangka jika suatu hari aku bertemu dengan seseorang yang memiliki andil besar dalam kehidupanku. Dia bukanlah seorang motivator, atau sahabat yang selalu mendukung kegiatan dan aktivitasku selama ini. Tapi, dia adalah seorang musuh. Musuh terbesarku di masa lalu.

Sewaktu aku masih SD, ada seseorang yang selalu mengkritikku dan terlihat sangat tidak suka kepadaku. Aku merasa dia sering mengomentari apa yang aku lakukan. Sewaktu SD dulu aku memang banyak ikut kegiatan, bahkan ( bukan bermaksud untuk membanggakan diri ) aku termasuk anak yang berprestasi di SD ku. Karena itu lah aku sering mendapatkan perhatian dari berbagai pihak baik itu yang bernada positif maupun negatif.

Sebagai seorang melankolis yang sangat perasa, sampai sekarang aku masih mengingat dengan jelas siapa-siapa orang yang menyakiti hatiku. Salah satunya adalah teman lamaku yang mengataiku sebagai "anak manja". Rasa sakit hati itu kubawa hingga aku beranjak dewasa. Bahkan, sampai aku kuliah pun aku merasa dia adalah musuh bebuyutanku.

Hingga kemarin saat sepupuku menikah, aku tidak sengaja bertemu dengan dia. Tanpa diduga dia lah yang menyapa ibuku terlebih dahulu. Aku, yang mendengar percakapan mereka berdua segera masuk ke ruang tamu. Aku kaget sekali melihat dia. Banyak sekali perubahan yang terjadi pada dirinya. Wajahnya jadi lebih cantik, tutur katanya jadi lebih lembut, mencerminkan kematangan seorang perempuan.

Dia mengajakku mengobrol. Tanpa terasa, kami terlibat dalam obrolan yang seru, mulai dari teman-teman kami yang sekarang telah sukses sampai teman-teman yang sampai sekarang tak terdengar kabarnya. Dia ternyata sudah menikah. Aku tak menyangka dia menikah dengan pemuda yang tinggal di depan rumah sepupuku. Dia menceritakan bagaimana dia bisa bertemu dengan suaminya. Sedangkan aku tak banyak menceritakan tentang diriku. Lagipula apa yang bisa diceritakan seorang gadis yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Tentu akan kalah menarik dibandingkan dengan cerita seru ibu rumah tangga.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Kami seperti "sahabat lama" yang terpisahkan oleh waktu. Padahal kenyataanya, kami dulu adalah seorang "musuh". Dalam setiap obrolannya, dia sama sekali tidak pernah menyinggung pertengkaran kami di masa lalu. Mungkin dia telah melupakan semuanya. Mungkin dia menganggap semua itu tidak pernah ada. Adalah aku yang berpikiran picik yang masih menyimpan "dendam" di masa lalu hingga sekarang.

Dari pertemuanku dengannya aku banyak belajar. Seseorang mungkin tidak punya maksud jelek saat dia melontarkan kritikan pedas pada kita. Diri kita sendiri saja yang terlalu perasa. Bahkan menganggap kritikan suatu pertanda bahwa seseorang itu membenci kita. Temanku itu bahkan tidak menampakkan wajah kebencian sama sekali. Akunya saja yang selama ini memendam rasa benci yang tak seharusnya kumiliki.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

memaafkan adalah mengambil ruang dari rasa benci.