Senin, 07 Desember 2009

Inasyscon 2009, my first international event



Kemarin, baru saja fakultas tempatku kuliah dan menuntut ilmu, Fakultas Ilmu Budaya, mengadakan sebuah even berskala internasional. Internasional Systemic Society Conference, adalah konferensi internasional pertama di FIB. Aku, sebagai salah satu dari sekian ratus mahasiswa ikut berpartisispasi dalam kepanitiaanya. Aku dan 19 orang mahasiswa lainnya telah lolos seleksi untuk menjadi panitia. sebelumnya, kami di interview dulu oleh dosen sampai akhirnya kami terpilih untuk ikut dalam kepanitiaan.

terus terang saja, sebagai mahasiswa biasa yang tidak banyak mempunyai kelebihan (IPK pas-pasan) , tentu saja aku bangga ikut serta dalam even ini. Konferensi yang berlangsung pada tanggal 5-7 Desember ini mendatangkan keynote speakers dari luar negeri. salah satunya adalah Prof MAK Halliday dan Prof Ruqaiya Hassan. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan mereka yang teori-teorinya ku pelajari di bangku kuliah.

Dalam konferensi ini, aku melihat dengan kedua mataku, merasakan dengan hatiku, kehidupan para akademisi. dimana pra profesor dan jenius-jenius yang lainnya bertemu. aku mendengar apa yang mereka bicarakan, gurauan, sorot mata, dan gesture mereka. Dunia akademisi yang dipenuhi dengan penelitian, seminar, disertasi, yang tampak bagiku sebagai sebuah menara gading yang tak tersentuh rakyat biasa.

Jujur, aku begitu menikmatinya. Menikmati kehidupan di dalam menara gading. tapi, apakah aku bisa diam saja dan membiarkan masyarakat di sekitarku masih dalam kemiskinan dan kesengsaraan. karena itulah, aku berpikir untuk tidak hanya menjadi akademisi. tapi juga menjadi praktisi. aku ingin terjun ke masyarakat dan melakukan perbaikan-perbaikan di dalamnya. aku ingin mengabdi. aku ingin diriku bermanfaat. daripada hanya belajar teori muluk-muluk yang tak bisa menyembuhkan kelaparan dan kemiskinan mereka.

bukan berarti aku sentimen dengan orang-orang akademisi. aku hanya ingin semuanya balance. dimana terjadi keseimbangan antara belajar teori dan bagaimana mempraktikakannya. aku tidak hanya belajar rumus dan teori sastra tapi bagaimana dekat dengan karya sastra itu sendiri. dekat kepada masyarakatnya.....

3 komentar:

holmes1412 mengatakan...

salam kenal,
ehmmm sedikit koment, sepertinya tak perlu ada dikotomi peran praktisi dan akademisi. Karena dikotomi itu sebenernya hanya ada di Indonesia (kalo ga salah). Karena para akademisi di luar negeri (Jepang misalnya), justru menjadi hulu dari setiap perbaikan masyarakat, baik melalui penelitian sains dan penemuan teknologi, maupun melalui diseminasi kepakarannya (teori, paper ilmiah, buku, paten, etc). Sementara apa yg disebut praktisi, tinggal menjalankan atau meneruskan yg ditemukan oleh akademisi dan peneliti. Tambahan, di luar negeri akademisi (seperti dosen & profesor) bertindak justru sbg tulang punggung riset dan pengembangan. Orientasinya, tentu ke khalayak. Nah, gimana dgn Indonesia ? Anda, saya dan kita semua yang harus memulainya. Setuju?

schizoprenic girl mengatakan...

salam kenal juga. karena itulah saya berusaha memadukan praktisi dan akademisi. semoga saya bisa. amin

mbah jiwo mengatakan...

kalau saya...apa ya?