Selasa, 28 September 2010

Tentang cinTa dan Tuhan yang Esa

Baru saja saya membaca tulisan di blog salah seorang penulis ternama di Indonesia. Isi tulisan tersebut membuat saya terinspirasi, tergelitik untuk menulis di blog saya sendiri. Untuk sedikit memberi sumbangsih wacana, merunut benang kusut yang terlanjur digulirkan bagai bola salju yang menghantam otak kita. Tentang CinTa dan Tuhan yang Esa.

Begitu banyak orang yang mempertanyakan tentang eksistensi Tuhan dan CinTa. Muncul pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang sering kita dengar. Apakah Tuhan itu Esa? Jika Tuhan itu Esa, mengapa dia menciptakan banyak cara dan agama? Lalu bagaimana dengan CinTa? Jika Tuhan yang menciptakan CinTa, mengapa kita tidak boleh menCinTa meskipun berbeda agama?

Bahkan ada pula yang berkelakar... pilih Tuhan atau cinta? pilih pacar atau agama?
atau tidak dua-duanya.

Sejenak, cobalah kita simpan dulu pertanyaan-pertanyaan yang begitu menyesak di otak kita. Bukan berarti kita mengabaikannya, atau pura-pura tidak tahu sekan-akan pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah ada. Lalu cobalah kita luruskan pelan-pelan benang kusut yang menjejali simpul-simpul syaraf dan logika.

Jika boleh jujur dengan diri sendiri, sebenarnya tahukah kita apakah arti CinTa sebenarnya?

CinTa adalah sesuatu yang "universal" namun setiap orang berbeda dalam mendefinisikannya. karena CinTa berkaitan dengan hati, dan rasa.
Dalam bahasa Inggris, CinTa disebut "Love" yang artinya " strong liking or affection", sesuatu yang sangat disukai. Menurut seorang filsuf dari America, Alexander Smith, CinTa adalah menemukan diri sendiri di dalam diri orang lain dan merasa bahagia dengan penemuan itu.

Ada kesamaan yang kita temukan di dalam diri seseorang sehingga kita merasa menjadi bagian dari dirinya. Ada sebuah magnet yang menarik kita begitu kuat sehingga kita ingin mendekat pada kutub yang berlawanan.

Ibunu Qayyim Al Jauziyah, seorang ulama salaf terkemuka, dalam buku "Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, menuliskan ada beberapa motivasi yang membuat kita jatuh cinta pada seseorang. Bisa jadi karena elok rupanya, paras wajahnya, mulia keturunannya, atau berlimpah hartanya. Namun semua itu tidaklah kekal adanya. kecantikan akan pudar seiring waktu berjalan, harta yang berlimpah suatu saat akan habis jika tertimpa bencana, keturunan atau nasab yang dimuliakan orang bisa tercoreng karena aib yang disebarkan.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Alexander Smith, CinTa yang paling kokoh adalah CinTa yang didasarkan atas keserasian, kecocokan, kemiripan selera jiwa. Dalam sebuah bait syair disebutkan " Setiap diri akan mencintai orang yang serasi dengannya." (Al Jauziyah,2000"143)

Keserasian bukan hanya karena kesamaan hobi, cita-cita, ide, pemikiran bahkan visi dan misi dalam mengarungi kehidupan. Bukan pula kesamaan wajah atau pun karakter. Pada kenyataannya ada pasangan yang karakternya sangat bertolak belakang namun bisa tetap mempertahankan pernikahan sampai ajal menjemput. Sesungguhnya keserasian berasal dari kesamaan pada apa yang ia yakini benar. Keselarasan jiwa bersumber dari kesamaan akidah. MenCinTai dan membenci karena Allah.

Pernikahan sesungguhnya adalah sebuah bentuk ibadah. Ia bukanlah lembaga yang (hanya) mengikat dua orang untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Di dalamnya ada tata aturan dan ritual sebagai bentuk ketaatan seorang hamba terhadap Rabb nya. Bahkan segala bentuk ketaatan kita pada suami adalah bukti rasa CinTa kita kepada Allah Swt.

Pertanyaan nya jika seseorang menikah beda agama dengan mengatasnamakan CinTa, lalu CinTa yang seperti apa? CinTa karena apa? dan CinTa untuk siapa?

Apakah "itu" benar-benar CinTa atau Hawa Nafsu semata?

Saya rasa kita tidak perlu meributkan tentang Ke-Esaan atau Ke -jamakan Tuhan lalu menjadikannya alibi untuk melegalkan "CinTa".
Akan lebih baik jika kita berusaha "tahu" mengalami, merasakan dan menghayati hakikat CinTa itu sendiri.

Waallhua'lam bissawab

2 komentar:

mbah jiwo mengatakan...

pertamax. bagus dibuat naskah ini he he he

Anonim mengatakan...

Beh... Manteb mbak tulisannya
Pengen ah nulis kayak mbak Miza